“Oalah, sekarang yang meninggal hampir 700ribu orang. Ngeri banget COVID,”
“Ah, Pemerintah nggak bisa ngurusin masalah pandemi gini. Harusnya begini begitu, bla bla bla,”
“Nih salahnya orang-orang yang mudik, COVID jadi membludak,”
Akhir-akhir ini banyak sekali berita buruk yang beredar di berbagai media, mulai dari televisi nasional, facebook, grup whatsapp, instagram, dan masih banyak lagi. Berita mengenai banyaknya korban COVID 19 yang semakin lama semakin meningkat banyak diberitakan dimana-mana. Selain itu berita bahwa banyak rumah sakit kolaps akibat jumlah pasien yang membludak santer dimana-mana. Panik? Cemas? Takut? Hmm, gimana ya jawabnya.
Kalau bicara soal perasaan sebagai manusia, kepanikan, rasa takut dan was –was itu ada. Bohong banget kalau ada orang yang bisa langsung aja tenang ketika dihadapkan dengan berbagai situasi mencekam dan tidak pasti seperti ini . Sudah setahun lebih sejak pertama kali pandemi ini terjadi di Indonesia. Disaat itu pula, kita harus beradaptasi dengan cepat. Yang biasanya kita bisa pergi kemana-mana dengan santai, sejak saat itu tidak bisa. Kita langsung dipaksa untuk berdiam diri di satu tempat, menjauhi kerumunan, dan sebisa mungkin tidak bersosialisasi terlebih dahulu. Apakah gampang? Tentu aja nggak semudah itu, ternyata. Tapi ini menurut saya, ya. Namanya juga opini, hehe.
Ada yang terlupakan selain mendahulukan kesehatan fisik, yaitu kesehatan mental. Kalo bahasa anak-anak jaman sekarang, “Apa kabar mentalmu hari ini?” Selain fisik, mental pun ternyata ikut pula terganggu. Gimana nggak keganggu ya? Pada dasarnya manusia itu makhluk sosial. Dan saat ini kita disuruh untuk mengisolasi diri, nggak usah keluar rumah kalau nggak penting-penting amat. Nah, bisa apa coba? Seminggu mungkin bisa aja, dilalui dengan santuy. Kalau sampai berbulan-bulan, gimana tuh?
Dan, keresahan semakin bertambah dengan banyaknya berita-berita negatif yang banyak bermunculan, khususnya di televisi nasional. Sekarang, pemberitaan apa yang paling banyak muncul kalo nggak update jumlah kematian yang angkanya tidak sedikit? Belum lagi hal itu juga diperparah dengan isu-isu belum tentu benar yang beredar di media sosial yang kebanyakan juga dengan narasi negatif? Di grup whatsapp ada aja notifikasi orang-orang dekat yang menghembuskan nafas terakhir, hampir setiap hari. Kebayang gimana tambah ‘mengerikan’ situasi ini. Dan yang juga tambah bikin sedih adalah, banyak pihak yang saling MENYALAHKAN satu sama lain. Saya bukan pengamat, tapi kok ya pas ketika keluar kamar selalu lewat ruang televisi. Seperti biasa, Ibu setiap hari selalu anteng nontonin update berita. Dan headline yang saya lihat kala itu, “Kasus COVID meningkat? Salah siapa?” Duh, sedih liatnya. Kenapa harus ditanya kesalahan ya? Situasi genting begini, apakah masih perlu mengetahui mana yang benar dan yang salah? Apakah ada kubu yang benar dan yang salah? Karena kalau mencari-cari kesalahan, sampai kapanpun tidak akan selesai, karena setiap pihak punya argumen masing-masing.
“Bisa nggak sih media ini nggak usah ngeluarin berita-berita yang bikin orang panik? Bisa nggak ya berita-berita yang beredar itu nggak usah mengangkat isu-isu negatif yang bisa memperburuk keadaan? Bisa nggak.. bisa nggak.. bisa nggak….”
Dan akhirnya, saya juga jadi ikut menyalahkan, hehehe.
Kalau kata Mas Sabrang Mowo Damar Pamuluh, manusia memiliki tiga lingkar yang mesti dipahami dalam kehidupan, yaitu lingkar pengaruh, kepedulian, dan perhatian. Dari ketiga lingkar itu, yang sejatinya paling bisa dikendalikan adalah apa yang berada di lingkar pengaruh. Apa itu? Ya, diri sendiri. Sudahkah menyediakan waktu untuk mengenal diri sendiri?
Hikmah yang bisa dipetik dalam situasi pandemi ini menurut saya pribadi adalah kembali pada diri sendiri. Karena sampai kapan pun, tidak akan bisa mengubah pandangan dan omongan orang lain. Yang bisa diubah adalah, respon diri ketika mendengar hal-hal yang tidak mau didengar dan berada pada situasi yang tidak ‘kita inginkan’. Dan itu, pure kembali ke diri masing-masing.
Kalau dihubungkan sama keresahan saya tadi karena banyak sekali berita negatif yang mau sampai kapanpun tetap aja ada. Solusinya, ya saya hanya perlu menjauh dari itu semua. Menjauh dari media sosial yang tidak memberikan dampak positif untuk saya dan mulai mencari hal-hal yang bisa membuat saya berubah menjadi lebih baik dan bersemangat setiap harinya.
Ya, ternyata kalau mau dilihat dari sudut pandang lain, saya tidak perlu menyalahkan media sosial. Informasi itu memang ada, namun saya bisa mengganti penggunaan media sosial untuk hal lain yang lebih positif dan bermanfaat untuk membuat badan saya kuat, pikiran saya sehat, dan jiwa saya bahagia.
“Jatuhnya balik lagi ke diri sendiri?”
Iya. Betul banget.
Sebagai orang yang memiliki agama, pasti paham betul bahwa manusia tidak bisa mengontrol apa-apa, bahkan dirinya sendiri, tanpa ada bantuan Tuhan, kalau dalam agama saya, Allah SWT. Pandemi ini bisa dijadikan sebagai media untuk lebih mengenali, memahami, dan menerima diri sendiri. Ya. Menerima segala sesuatu yang terjadi, adalah cara yang paling baik untuk dilakukan. Karena semua hal yang terjadi ini sudah menjadi kehendak dan ketetapan Allah SWT, yang Maha Mengatur Segalanya. Percayakan semua kepada Allah dan mulai sering untuk muhasabah diri. Karena sejatinya hal paling baik yang bisa dilakukan adalah mencintai diri sendiri karena dengan hal itu, kita bisa memaknai hidup kita dengan lebih baik dan sadar bahwa diri ini sangat berharga. Setelah itu melakukan hal baik yang kita bisa untuk orang lain, khususnya orang-orang sekitar.
0 komentar:
Posting Komentar